POLA PENILAIAN PORTOFOLIO DALAM KEBIJAKAN SERTIFIKASI
GURU PICU PERILAKU MATERIALISME DAN KECURANGAN
(KAJIAN DALAM PERSEPEKTIF PSIKOLOGI BEHAVIORISME)
A. LATAR BELAKANG
Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di
Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang
saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan
sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah–melalui
Dinas Pendidikan setempat- menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah
memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi.
Membaca dari berbagai komentar di beberapa surat kabar, menyatakan bahwa telah banyak
terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan sertifkasi guru tersebut. Tak kurang
Koordinator Education Watch pun unjuk bicara mengamini fenomena tersebut
(Koran Tempo, 27/09/07). Satya
Sandhatrisa Gunatmika dalam tulisannya pada harian tersebut menyatakan bahwa,
telah terjadinya praktek kecurangan kolektif yang dilakukan oleh para guru.
Selain itu, banyak kasus kolusi dalam penentuan guru yang akan mengikuti ujian
seleksi sertifikasi. Dinyatakan pula beberapa “permakluman” atas tindak
kecurangan tersebut diakibatkan oleh keinginan yang kuat dari para guru untuk
lulus dalam ujian sertifikasi lantaran syarat pengumpulan poin penilaian sangat
berat dan tidak mungkin dicapai oleh para guru senior yang sibuk dengan urusan
rumah tangga dan kegiatan belajar-mengajar.
Namun dalam
perkembangannya terlihat di kalangan guru, motivasi para guru dalam sertifikasi
hanya sebatas untuk mendapatkan tambahan gaji ekstra saja (materalisme). Sistem
porotofolio dengan skor 850 poin ternyata juga sangat rawan manipulasi dan
memicu para guru berbuat curang.
Oleh karena itu, jika ke depannya kegiatan sertifikasi guru
masih menggunakan pola yang sama, yaitu dalam bentuk penilaian portofolio, maka
tidak akan ada peningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan yang berarti. Apakah
meningkatkan kesejahteraan guru harus dengan selembar kertas yang itu bisa
dimanipulasi?
B.
PEMBAHASAN
Hakekat
Kebijakan
Kebijakan pendidikan adalah konsep yang sering kita dengar,
kita ucapkan, kita lakukan, tetapi sering kali kita tidak pahami sepenuhnya,
oleh karena itu, kita lihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kebijakan
pendidikan.
Secara etimologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy atau police dalam bahasa inggris. Berdasarkan asal kata tersebut pengertian policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan police berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan.
Secara etimologi kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy atau police dalam bahasa inggris. Berdasarkan asal kata tersebut pengertian policy berarti hal-hal mengenai kebijakan pemerintah, sedangkan police berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan.
Menurut Gamage dan Pang kebijakan adalah yang terdiri dari
pernyataan tentang sasaran dan satu atau lebih pedoman yang luas unuk mencapai
sasaran tersebut sehingga dapat di capai yang dilaksanakan bersama dan
memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan program sedangkan Klien dan Murphy
mengatakan kebijakan berarti seperangkat tujuan–tujuan dan prinsip-prinsip
serta peraturan–pearaturan yang membimbing sesuatu organisasi kebijakan dengan
demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi.
Berdasarkan pendapat diatas menunjukkan bahwa kebijakan adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya seperangkat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi dengan demikian kebijakan mencakup keseluruhan petunjuk organisasi.
Berdasarkan pendapat diatas menunjukkan bahwa kebijakan adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya seperangkat tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi dengan demikian kebijakan mencakup keseluruhan petunjuk organisasi.
Oleh karena itu kebijakan secara prakis dapat di fahami
sebagai keputusan pemerintah, (as decision of government) sebagai bentuk
pengesahan formal (as formal
authorization), sebagai program (as
programme), sebagai keluaran (as
output), sebagai hasil akhir (as
outcome) dan sebagai teori atau model (as
a theory or model)serta sebagai proses (as process).
Hakikat Guru
Dan Dosen
Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen telah mendiskripsikan yang dimaksud guru dalam pasal 1: 1 adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.dan dalam pasal 1 ; 4 dinyatakan Professional adalah pekerjaan atau
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu
atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Ada Empat (4) kompetensi yang harus dikuasai guru sebagai
pendidik profesional, ke empat (4) kompetensi tersebut adalah:
1.
Kompetensi pedagogik, yaitu
meliputi:
Kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik serta pemahaman terhadap peserta didik,
dengan indicator esensial: memahami peserta didik dengan memanfaatkan
prinsip-prinsip perkembangan kognitif dan kepribadian dan mengidentifikasi
bekal-ajar awal peserta didik.
2.
Kompetensi professional yaitu: Kompetensi
profesional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam,
yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan
substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap stuktur
dan metodologi keilmuannya.
3.
Kompetensi sosial yaitu: Kompetensi
sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara
efektif dengan peserta didik, memiliki indikator esensial: berkomunikasi secara
efektif dengan peserta didik. Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif
dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan. Mampu berkomunikasi dan bergaul
secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
4.
Kompetensi kepribadian yaitu: Kompetensi
kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta
didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian yang mantap dan stabil memiliki
indikator esensial: bertindak sesuai dengan norma hukum; bertindak sesuai
dengan norma sosial; bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam
bertindak sesuai dengan norma. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator
esensial: menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki
etos kerja sebagai guru. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial:
menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah,
dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak
Kepribadian yang berwibawa memiliki indikator esensial: memiliki perilaku yang
berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
Akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indicator esensial: bertindak
sesuai dengan norma religius (iman dan taqwa, jujur, ikhlas, suka menolong),
dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik
Sertifikasi guru adalah sebuah upaya peningkatan mutu guru dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteran guru berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang telah memiliki sertifikat pendidik.
Sistem penilaian portofolio di atas memicu munculnya praktik
kecurangan dalam teknis pelaksanaannya. Terutama berkaitan dengan bukti-bukti
kegiatan yang hanya dibuktikan lewat sertifikat bukti keikutsertaan dalam
berbagai kegiatan. Salah satu strategi yang kerap dilakukan adalah, kegiatan
seminar “rekayasa”. Caranya dengan membentuk panitia setingkat kabupaten bahkan
kecamatan kemudian peserta dapat sertifikat telah mengikuti seminar. Itupun
cukup untuk dapat kredit poin. Demikian pula panitianya yang tidak lain adalah
juga guru tentu ada poin tersendiri yg bisa dijadikan modal manipulasi untuk
sekedar mengumpulkan poin agar target poin 850 terpenuhi. Bahkan dalam sebulan
bisa saja berkali-kali diadakan seminar-seminaran yang sekedar bermotif kejar
kredit poin demi SERTIFIKASI itu.
Bahkan ada beberapa
rekan guru yang spontan rajin membuat modul pembelajaran, yang isinya saja
mungkin ia tidak pahami karena asal comot sana sini. Aneh bukan? Ini demi
kredit poin. Apakah ini yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan soal
sertifikasi itu?.
Pelaksanaan sertifikasi akan menghadapi berbagai kendala. Di samping persoalan biaya, berbagai tantangan dan tuntutan juga akan muncul. Bagaimana cara pemerintah menghadapi tantangan dan tuntutan ini, akan menentukan apakah sertifikasi akan berhasil meningkatkan kualitas kompetensi guru.
1.
Pertama,
Ganti portofolio dengan kegiatan Pelatihan
Perlu ada pelatihan untuk mengukur
standar kemampuan guru. Dengan pelatihan, mereka bisa saling asih, asah, dan
asuh. Ada pertukaran pengalaman. Ini sangat berbeda dari portofolio. Setelah
pelatihan dilaksanakan baru diadakan proses uji kompetensi. Melalui pelatihan
inilah, baru guru benar-benar mendapatkan sesuatu yang selama ini belum
dimiliki sehingga predikat profesional layak disandangnya. Penyelenggaraan
pelatihan dengan melibatkan tenaga pelatih dari para guru berprestasi/teladan
yang handal.
2.
Seritifikasi dilakukan oleh
organisasi profesi (bukan oleh LPTK)
Seperti halnya profesi dokter, advokat
maupun wartawan, maka status sebagai tenaga professional, sertifikasinya
dilakukan oleh organisasi yang menaungi mereka. Tahap awal bagi guru untuk
mendapatkan tunjangan profesi tersebut tidak dilakukan oleh pemerintah melalui
Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). LPTK tidak dapat menjadi lembaga
pensertifikasi guru karena LPTK sudah menjadi lembaga yang menyiapkan dan
melahirkan calon guru. Oleh karena itu, seperti halnya Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) maka PGRI dapat menjadi pihak yang menerbitkan mensertifikasi guru.
Profesi apapun, sertifikasi harusnya dilakukan oleh organisasi profesi. LPTK
perannya bukan menerbitkan sertifikasi, tapi mendidik dan menyiapkan calon guru
yang baik.
Sehingga Undang-Undang No 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen perlu dilakukan revisi untuk mengakomodir
kewenangan ini. Disamping itu, PGRI harus terus melakukan pembenahan internal
untuk menjadi organisasi profesi guru yang benar-benar kredibell. Organisasi profesi guru juga harus berada di
setiap kabupaten dan kota. Hal Ini untuk
memudahkan organisasi untuk menjangkau, melayani, dan melindungi guru-guru yang
berada di kabupaten/kota.
3.
Sertifikasi merupakan instrument
bukan tujuan.
Perlu
ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana
untuk menuju kualitas. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan
pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan
adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk
kualifikasi, maka belajar kembali ini untuk mendapatkan tambahan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan
tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar,
melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu
dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru mengikuti uji sertifikasi,
tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat
menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana
disyaratkan dalam standard kemampuan guru. Dengan menyadari hal ini maka
guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali
mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
4.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum.
Dalam
pelaksanaan sertifikasi, akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main
yang sudah ada. Adanya penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai
pihak, khususnya guru untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas.
Penyimpangan yang muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi
yang tidak benar. Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah
harus segera mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak seseorang tidak
boleh menjadi penguji sertifikasi, dan lain sebagainya. Pemerintah harus
konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi.
5.
Pembinaan Pasca Sertifikasi
Pembinaan
guru harus berlangsung secara berkesinambungan, karena prinsip mendasar adalah
guru harus merupakan a learning person,
belajar sepanjang hayat (life long
educations) masih dikandung badan. Sebagai guru profesional dan telah
menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan
profesionalitasnya sebagai guru. Pembinaan profesi guru secara terus-menerus (continuous profesional development)
menggunakan wadah guru yang sudah ada, yaitu Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk
tingkat SD dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk tingkat sekolah
menengah. Aktifitas guru di KKG/MGMP tidak saja untuk menyelesaikan persoalan
pengajaran yang dialami guru dan berbagi pengalaman mengajar antar guru, tetapi
dengan strategi mengembangkan kontak akademik dan melakukan refleksi diri.
Desain jejaring kerja (networking)
peningkatan profesionalitas guru berkelanjutan melibatkan instansi Pusat, Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK), Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan Propinsi/Kabupaten/Kota
serta Perguruan Tinggi setempat.
Upaya yang sungguh-sungguh perlu
dilaksanakan untuk mewujudkan guru yang profesional: sejahtera dan memiliki
kompetensi. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas, di mana pendidikan yang berkualitas
merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan
suatu bangsa. Undang-Undang Guru dan Dosen telah hadir sebagai suatu kebijakan
untuk mewujudkan guru profesional. UUGD yang menetapkan kualifikasi dan
sertifikasi akan menentukan kualitas dan kompetensi guru.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas bahwa keberadaan guru yang berkualitas merupakan syarat
mutlak hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua
bangsa didunia ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru
yang berkualitas.